Laman

Kamis, 09 Desember 2010

Kepemimpinan Profetik (Regenerasi Kepemimpinan Thalut-Daud-Sulaiman)

Catatan Kajian
[Training Pengembangan Diri] PART 1
Pemateri Bang Bachtiar Firdaus
Rabu, 8 Desember 2010, pukul 20.00 s.d 22.00 WIB


Mengapa kita harus mempelajari kisah Nabi Daud dan Sulaiman sebagai contoh kepemimpinan profetik adalah karena banyak hal-hal yang dapat kita ambil pelajarannya dari kisah-kisah tersebut. Hal itu karena pada kisah-kisah tersebut merupakan contoh seorang Nabi yang merajai (Tsaric Prophet) dan raja yang berwatak kenabian (Prophet King). Jadi pada kepemimpinannya dapat dijadikan contoh sebagai seorang pemimpin yang mengintegrasikan antara sisi pemerintahan dan sisi relijius sehingga tidak ada sisi sekulerisasi.

Kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Bapak dan Anak, yaitu Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Suatu kala, ketika ada dua orang perempuan datang mengadukan perkara kepada seorang pemimpin (Nabi Daud) mengenai masalah di antara mereka. Keduanya masing-masing mempunyai satu orang anak, namun salah satu dari anak itu diterkam serigala. Namun yang menjadi permasalahan, kedua perempuan itu mengklaim bahwa anak yang selamat dari terkaman serigala adalah anak mereka. Keduanya tidak ada yang ingin mengalah sehingga mengadukan perkaranya kepada Nabi Daud. Setelah Nabi Daud menerima pengaduan tersebut, Nabi Daud akhirnya memutuskan perkara. Dari kedua perempuan tadi, akhirnya Nabi Daud memenangkan perkara kepada perempuan yang paling tua sebagai pemilik dari anak tersebut. Alasan Nabi Daud memilih perempuan yang lebih tua adalah karena seseorang yang berumur (lebih tua) biasanya lebih jujur daripada orang yang lebih muda sehingga Nabi Daud memenangkan perkara kepada perempuan yang lebih tua.

Ketika mengetahui ayahnya telah mengambil keputusan, Nabi Sulaiman meminta izin kepada ayahnya (Nabi Daud) agar menimbang kembali keputusan tersebut. Perkara yang sudah ditetapkan itu akhirnya ditinjau kembali oleh Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman meminta agar anak tersebut diletakkan di hadapannya. Nabi Sulaiman berkata bahwa jika kedua perempuan tersebut tidak ada yang mau mengalah, maka anak yang diperebutkan tersebut akan dibagi menjadi dua dengan cara dipotong dengan menggunakan pedang. Pada saat itu, Nabi Sulaiman melihat ekspresi dari kedua wanita tersebut. Wanita yang lebih tua tidak memperlihatkan perubahan ekspresi pada wajahnya, sedangkan wanita yang lebih muda sangat cemas dan berkata bahwa anak tersebut rela diserahkan kepada wanita yang paling tua daripada dibunuh/dipotong menjadi dua. Akhirnya Nabi Sulaiman memenangkan perkara tersebut kepada wanita yang lebih muda berdasarkan bukti tersebut. Nabi Daud pun ditegur oleh Allah seperti yang dikisahkan pada Qur’an surah Shad (38):21-25.

Kita dapat mengambil pelajaran dari kisah di atas sebagai contoh sosok pemimpin. Tampak ketika Nabi Daud memutuskan perkara dan memenangkan perempuan yang lebih tua tersebut hanya didasarkan kepada insting dan naluri. Nabi Daud hanya melihat dari sisi kebiasaan saja bahwa seseorang yang lebih tua biasanya lebih jujur daripada seseorang yang lebih muda tanpa didasari dengan pembuktian. Sedangkan Nabi Sulaiman mengambil tindakan untuk membatalkan perkara tersebut dan menimbang kembali sebelum mengambil keputusan. Hasilnya dapat diketahui bahwa anak tersebut adalah anak dari perempuan yang lebih muda, bukan anak dari perempuan yang lebih tua. Inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam menghadapi masalah dan pengambilan keputusan. Hendaknya kita memutuskan perkara tanpa bukti. Sama seperti ketika seseorang menerima laporan hasil survey dari subordinarynya. Perlu ada data yang konkrit dan bukti yang nyata sehingga tidak main-main dalam pengambilan keputusan.

Kisah berikutnya juga memiliki nilai-nilai yang dapat kita petik hikmahnya sebagai pengembangan jati diri seorang pemimpin. Masih pada zaman Nabi Daud. Ketika itu ada dua orang pekebun yang mempunyai kebun dan antara kebun yang satu dengan yang lain terletak bersebelahan. Kedua pekebun tersebut juga sama-sama memiliki kambing. Suatu ketika, kambing milik salah satu dari pekebun itu masuk ke kebun milik pekebun yang lain dan merusak tanaman-tanaman yang ada di kebun tersebut. Karena seluruh tanaman tersebut rusak, pekebun tersebut meminta pertanggungjawaban kepada pemilik kambing tersebut. Namun pemilik kambing tidak mau disalahkan karena yang masuk adalah kambing yang tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Intinya pemilik kambing meminta agar pekebun yang tidak terima itu memakluminya. Namun pekebun tetap tidak terima dan akhirnya mengadukan kepada Nabi Daud mengenai masalah tersebut.

Karena mendapat pelajaran sebelumnya bahwa seorang pemimpin harus mempunyai bukti dalam memutuskan perkara, kini Nabi Daud menerima pengaduan tersebut memutuskan perkaranya berdasarkan bukti-bukti. Menurut bukti-bukti di lapangan, nyata bahwa kambing-kambing tersebut telah merusak kebun milik pekebun kedua. Maka berdasarkan bukti-bukti tersebut, Nabi Daud memutuskan perkara bahwa pekebun pertama bersalah karena tidak bisa menjaga kambing-kambingnya. Akhirnya pekebun pertama harus menerima keputusan bahwa seluruh kambingnya diserahkan kepada pekebun kedua (yang kebunnya dirusak oleh kambing pekebun pertama).

Namun sekali lagi, Nabi Sulaiman meminta izin kepada ayahnya untuk menimbang kembali keputusan tersebut. Nabi Sulaiman mengambil jalan win-win solution dalam mengambil keputusan dalam permasalahan ini. Akhirnya keputusan pun didapat. Pemilik kambing (pekebun pertama) harus menyerahkan kambingnya selama satu tahun kepada pekebun kedua, sedangkan pekebun kedua harus menyerahkan kebun yang telah dirusak oleh kambing kepada pekebun pertama. Hal ini bukannya tanpa tujuan. Ini dilakukan supaya pekebun kedua bisa merasakan sibuknya mengurus kambing-kambing tersebut dan pekebun pertama bisa merasakan susahnya bercocok tanam.

Pemimpin yang ideal harus mempunyai sikap seperti apa yang dilakukan oleh nabi Sulaiman pada ksah di atas. Ternyata bukti saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah antara dua kelompok/ oramg yang bertikai. Harus dibutuhkan win-win solution juga agar sama-sama tidak ada yang keberatan dengan perkara yang diputuskan. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memiliki jiwa sosial dan pandangan yang luas agar dapat menemukan jalan win-win solution kepada kedua kelompok/ orang yang sedang bertikai.

Karakter pemimpin harus menunjukkan kecerdasan dan ketegasan. Pada kasus pertama, keadilan sejati berbasis pada naluri dengan manusia. Sedangkan pada kasus kedua, Sulaiman menerapkan keadilan yang terukur. Sebuah konsep dalam studi ekonomi sosial yang membuktikan bahwa penerapan etika dan metode instrumentalis sejalan dengan perenungan cara dan pencapaian tujuan. (Steven R. Hickerson, 1986). Orientasi pada tujuan (win-win solution) merupakan langkah yang paling tepat dalam menyelesaikan konflik terhadap pihak yang mempunyai pandangan sempit dan hanya mementingkan naluri semata. Tanpa langkah tersebut, konflik yang terjadi justru akan berkepanjangan dan tidak berujung, bahkan menambah menjadi konflik yang lebih besar.

Win-win solution dapat dikatakan sebagai tindakan-tindakan hukum (dari kacamata penguasa) atau putusan-putusan manajerial yang sesuai dengan rasa keadilan umum (fairness). Kriteria yang harus dimiliki untuk menangani masalah
  • Pemahaman masalah (right understanding)
  • Kedalaman analisis (Judgement)
  • Keluasan pengetahuan (knowledge)

Beralih kepada kisah kepemimpinan Thalut. Ketika Thalut ditunjuk sebagai pemimpin, para kalangan elite Bani Israil menuntut protes keras karena Thalut tidak dikenal di kalangan elite Bani Israil. Kondisi tersebut sama dengan keadaan Indonesia saat ini dimana pemikiran tentang kepemimpinan masih dilandasi dengan feodalisme dan kekayaan. Inilah alasan Thalut tidak diterima karena tidak mempunyai kekayaan. 

Kenyataannya, para elite itu hanya ingin mendapat restu/ kartu politik semata. Thalut adalah contoh seseorang yang menjadi contoh dari “nobody” menjadi “somebody”. Kepemimpinan Thalut ternyata berhasil. Hal ini karena pada masa kepemimpinannya, Thalut fokus pada dua hal yaitu melatih kedisiplinan dan membangun rasa kebersamaan. Pada Thalut terdapat kriteria Basthotan fil ‘ilmi wal jism, yaitu memiliki kekuatan ilmu dan fisik (QS Al Baqarah (2) : 247)

Karakter kepemimpinan ada yang relatif tetap dan ada pula yang relatif berubah. Namun yang harus kita ambil ibrohnya mengenal potensi diri dan menyemai kepemimpinan dari sekarang. Kita harus memiliki syarat-syaratnya yaitu ketulusan hati, penguasaan strategi, dan keandalan fisik.

penulis : Iwan Nurfahrudin
dari kajian TPD PPSDMS


Tidak ada larangan untuk menyebarkan isi dari blog ini asalkan mencantumkan blog ini sebagai sumber
(HAK CIPTA HANYA MILIK ALLAH)








Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl
Posting Komentar