Pro-kontra ujian nasional merupakan isu lama yang setiap tahunnya menghiasi pembicaraan semua kalangan di negeri ini. Dari anak sekolah sebagai peserta didik, guru-guru sebagai pengajar, orang tua murid, dan dinas pendidikan setempat semua dibuat khawatir oleh tingkat kelulusan yang disesuaikan dengan standar nilai yang ditentukan oleh pemerintah melalui ujian nasional yang hanya selama tiga hari. Tidak hanya itu, para professor dan pengamat pendidikan pun ikut larut dalam diskusi pro-kontra ujian nasional yang tidak ada ujungnya.
Ujian nasional pada dasarnya dirancang untuk siswa SD, SMP, maupun SMA untuk mengukur tingkat pemahaman materi yang didapatkan selama menempuh pendidikan di tingkatan sekolah tersebut. Tetapi sifat ujian ini menjadi sakral di mata murid karena merupakan parameter utama penentu kelulusan bagi siswa. Jika gagal ketika ujian nasional, maka dianggap belum memenuhi persyaratan untuk lulus. Walhasil pendidikan yang telah ditempuh selama 3 sampai 6 tahun hanya ditentukan dengan ujian dalam jangka waktu hanya beberapa hari.
Ujian nasional merupakan sebuah produk dari penerbitan peraturan permendiknas No.74 dan 75 tentang Panduan UN Tahun Pelajaran 2009-2010 SD dan SMP/SMA/SMK, ditandatangani oleh Mendiknas Bambang Sudibyo per tanggal 13 Oktober 2009. Salah satu isinya menyebutkan bahwa Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan. Seiring dengan berjalannya waktu, UN dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan dalam menempuh pendidikan di kalangan pelajar. Standardisasi yang dibuat merata untuk seluruh Indonesia ini dinilai tidak solutif karena dalam kenyataannya di lapangan, standar pendidikan di masing-masing propinsi berbeda-beda karena kualitas pendidikan yang berbeda juga. Hal ini dapat dilihat dari fasilitas sekolah yang tidak merata di seluruh Indonesia.
sumber gambar http://nasiman.files.wordpress.com/2010/04/ujian-nasional.jpg diakses pada Kamis 2/5/2011 pukul 12.24 WIB
Penentuan kelulusan melalui ujian nasional sudah tidak bisa dilakukan lagi sebagai standar murni kelulusan siswa dalam menempuh bangku pendidikan. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya kecurangan yang terjadi di lapangan ketika ujian nasional diselenggarakan. Dari mulai kecurangan terkecil, seperti bertanya kepada teman, bekerjasama, menyontek, sampai dengan kecurangan terbesar mengenai bocornya soal UN, bocoran jawaban yang beredar dari lembaga bimbingan belajar, dan kecurangan lain semua menjadi hal yang luput dari evaluasi pemerintah dalam penyelenggaraan ujian nasional ini. Semua seolah berlalu tanpa ada perbaikan dari sisi sitem pendidikan sehingga pada tahun berikutnya, kecurangan pun menjadi sesuatu yang wajar dan dianggap sebagai bumbu dari cerita ujian nasional.
Kecurangan-kecurangan di atas terjadi karena doktrinasi akan “sakralnya” ujian nasional di mata semua kalangan. Tidak hanya siswa yang takut ketika angka keberhasilan UN menempati posisi yang rendah. Orang tua dan guru-guru pun turut was-was ketika detik-detik menjelang Ujian Nasional semakin dekat. Tak hanya itu, dinas pendidikan setempat juga khawatir oleh semakin besarnya angka kegagalan dalam wilayahnya ketika mengikuti ujian nasional. Bahkan departemen pendidikan selaku lembaga yang membuat produk Ujian Nasional itu sendiri pun merasa kecewa dan tidak puas ketika banyak siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional. Oleh karena itu tidak heran kecurangan terjadi dimana-mana ketika penyelenggaraan Ujian ini entah dari orang dalam maupun dari orang luar. Bisnis pendidikan seperti bimbingan belajar pun bekerja sama kotor dengan orang dalam agar mendapatkan kunci jawaban Ujian tersebut, sehingga tidak heran ketika pagi-pagi buta sebelum ujian diselenggarakan, sudah banyak beredar kunci jawaban tentang materi yang akan diujikan pada hari itu seperti yang Anda pernah saksikan sendiri (bagi yang sudah lulus). Kalau sudah begini, bagaimana kualitas pendidikan Indonesia bisa maju dari negara lain jika pemerintahnya sendiri takut dengan produk buatannya sendiri. Seperti melempar sebuah boomerang.
Suara penulis untuk pemerintah
Melihat wajah pendidikan Indonesia yang demikian terpuruknya, kita hanya bisa berharap agar pemerintah dapat mengubah sistem pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Penentuan kelulusan dari hasil Ujian Nasional perlu digarisbawahi dan ditinjau ulang. Secara pelaksanaan keberjalannya banyak kendala yang dihadapi seperti kecurangan, kebocoran distribusi soal, dan lain-lain. Sedangkan jika ditinjau dari sisi psikologis, banyak siswa yang stres ketika akan menghadapi ujian nasional. Sudah banyak juga kita mendengar dari berita bahwa banyak siswa yang mencoba bunuh diri ketika gagal dalam ujian nasional. Bahkan orang yang menjadi juara kelas selama tiga tahun tidak lulus Ujian Nasional. Kalau sudah begini, sistem benar-benar harus diubah.
Dari hati nurani penulis yang terdalam, Penulis sangat mengapresiasi iktikad baik pemerintah dalam menaikkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan jalan Ujian Nasional, tetapi penulis merasa prihatin akan hasil evaluasi keberjalanan Ujian Nasional selama bertahun-tahun yang tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Bahkan kecurangan yang terjadi pun tetap terulang pada tahun-tahun berikutnya. Jika dilihat dari sisi pemerataan kualitas, Ujian Nasional sangat objektif dalam menentukan kelulusan siswa. Akan tetapi ada hal yang lebih penting yang harus diajar oleh guru kepada murid. Guru berarti digugu dan ditiru. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai transfer ilmu pengetahuan, kreativitas, dan pembinaan moral kepada para siswanya. Jika kelulusan ditentukan oleh Ujian Nasional, bagaimana pemerintah bisa mendidik siswanya dari segi moral. Selain itu, guru lebh mengetahui kondisi siswanya bahwa siswa tersebut layak untuk lulus atau tidak.
Untuk menjaga independensi agar tidak memihak siapa pun, penulis mengusulkan penentuan kelulusan siswa berdasarkan sistem persentase. Jadi ujian nasional tetap dijalankan, namun hanya menyumbang sekian persen dari kelulusan. Sisanya ditentukan oleh nilai-nilai di kelas, aspek kreativitas, dan aspek moral para siswa. Selain itu, para guru pun diarahkan kepada peningkatan kualitas pendidikan dalam skala nasional, sehingga guru tersebut tidak meluluskan siswanya hanya karena nama sekolahnya yang ingin tenar. Jika pendidikan terus berjalan tanpa disertai dengan pembinaan moral, maka jangan heran banyak tumbuh koruptor-koruptor dan pengkhianat bangsa di negeri ini. Karena pada dasarnya, pendidikan adalah pembinaan.